Selasa, 14 Februari 2012

Drama cinta Luis Suarez

Boleh-boleh saja masyarakat Old Trafford mencibir, "huu...huu...huu", ketika striker Liverpool Luis Suarez mendribel atau siap mengumpan bola ke sesama rekannya di jantung pertahanan Manchester United. Alasannya, publik sepak bola Inggris umumnya terlanjur patah hati.

Divonis sebagai pemain yang melontarkan kata "negro" kepada bek Manchester United Patrice Evra di Anfield pada 15 Oktober 2011, Suarez dihakimi sebagai sosok yang menebar kebencian bernuansa rasis.

Bagaikan kekasih yang tersakiti oleh buah hatinya, publik bola langsung melontarkan pernyataan, "hubungan kita sampai di sini saja." Cinta melibatkan aku dengan engkau menjadi kita. Benci meniadakan kebersamaan artinya menjauhkan hubungan aku dengan engkau.

Kebencian publik menjadi-jadi lantaran lagi-lagi Suarez memicu insiden dengan menolak menerima uluran jabat tangan Evra sebelum pertandingan Liga Utama Inggris, Sabtu (11/2). Liverpool kalah 1-2 dari seteru lawasnya United. Fans United bersorak riang. Bukankah cinta menciptakan keriangan berbalut kegembiraan dari pesona laga bola.

Habis benci datanglah rindu. Cinta akan klub dan rindu akan belaian bunda Kasih Sayang dalam laga bola akhirnya menaklukkan hati keras pemain berusia 25 tahun itu. Suarez akhirnya meminta maaf atas penolakannya bersalaman dengan Evra.

"Saya telah membuat dia (Evra) kecewa. Saya juga mengecewakan klub atas perilaku saya. Karena itu saya meminta maaf. Saya telah berbuat salah dan saya minta maaf setulus hati atas perilaku saya," katanya. Cinta berbalut maaf dan ketulusan hati.

Dengan menepuk dada seraya mengucap kata-kata sesal atas kealpaan mencintai sesama, Suarez mengulang-ulang kata-kata Latin klasik, "Mea Culpa, Mea Culpa (karena kesalahanku, karena kesalahanku).

"Saya seharusnya menyalami Patrice Evra sebelum laga digelar. Saya minta maaf. Saya akan melupakan seluruh peristiwa itu dan berkonsentrasi hanya bermain sepak bola," katanya menegaskan. Sesal Suarez menunjukkan kesetiaan untuk membangun dan merawat hubungan antara sesama, meminjam istilah filsuf Gabriel Marcel "menciptakan hubungan" (fidelite creatrice).

Cinta itu buta karena "cinta" nyatanya punya mata hati. Publik bola menyaksikan drama jauh dari kecintaan akan keteduhan persahabatan dua manusia. Saat mendekati Evra, Suarez melewati begitu saja pemain asal Perancis tersebut dan sontan menyalami kiper MU, David De Gea.

Terbakar bara kecintaan akan persahabatan antara sesama, Evra menarik tangan Suarez dan menyalaminya. Balasannya? Suarez justru tidak mempedulikannya dan terus melenggang berjalan. Ini drama dari kisah kasih akan kemanusiaan yang bertepuk sebelah tangan.

Aksi Suarez mendulang kontroversi. "Saya tidak percaya, dia (Suarez) melakukan hal itu. Dia adalah aib bagi Liverpool. Pemain seperti itu seharusnya tidak dibolehkan bermain untuk Liverpool lagi," ujar Fergie geram seperti dikutip dari Mirror Football.

Apakah memang Suarez tampil sebagai "penjahat cinta"? Benar, bahwa Suarez sebagai striker kerapkali menggunakan trik "diving" untuk mengelabui wasit agar memperoleh keuntungan bagi tim. Keliru, bilamana pemain timnas Uruguy itu dicap sebagai sosok yatim piatu di hadapan cinta.

Setidaknya Suarez menyimpan kisah drama cinta romantis. Pada 1998, pemandu bakat klub Nacional, Wilson Pirez yang "menemukan" Suarez menuturkan liku-liku kisah kasih Suarez.

Berlatarbelakang sebagai keluarga yang terus didera derita hidup, Suarez bersama Sofia Balbi tiada henti menabur serbuk benih kasih agar bertumbuh drama demi drama cinta di sirkuit kehidupan. Keduanya akhirnya bersetia di altar perkawinan. Ibu, nenek dan Sofia senantiasa menyejukkan hati Suarez ketika laga kehidupan tidak lagi membuahkan sukses.

Kala itu Sofia masih berusia 13 tahun. Rambutnya yang pirang tergerai sebahu. Ketika memandang paras Sofia, hati Suarez berdegup berirama sebagaimana layaknya rancak musik Latin. Menginjak usia 15 tahun, dua sejoli itu mulai berjalan dan ngobrol berdua. Ini intro kisah kasih Suarez dan Sofia.

"Pada usia 15 tahun, saya menemukan seorang gadis yang membuat saya mabuk kepayang," kata Suarez seperti dituturkan oleh Pirez. "Ia terus menerus mengatakan bahwa sepak bola teramat penting bagi saya," katanya pula.

Pirez masih ingat benar manakala Sofia kerapkali setia menunggu Suarez berlatih di lapangan sepak bola. "Mereka tampak masih muda sebagai pasangan yang memadu kasih. Suatu ketika, keduanya tampak menghitung uang koin di tangannya masing-masing. Mereka lalu membeli roti dan segelas minuman di sebuah kedai," kata Pirez.

Kemesraan keduanya terus berlangsung. Baik Sofia maupun Suarez sama-sama bersekutu dan bersetia dengan saling berjanji di altar Tuhan bahwa, di dalam dirimu, aku juga mencintai diriku sendiri. Bila Perez mencintai dan mengasihi Sofia, berarti Perez mencinta dirinya sendiri, begitu pula sebaliknya.

Nah, kegagalan Perez mencintai dan mengasihi Sofia dapat disebut sebagai narsisme. Dan Perez tidak ingin tampil sebagai pribadi narsistis. Ia mencintai dan mengasihi Liverpool. Dalam dan dengan Liverpool, pemain Uruguay itu menemukan dan mendapati cinta dan kasih sayang.

Cinta itu melahirkan lagi sebuah cinta (amor gignit amorem), demikian pepatah Latin klasik. Siapa yang tidak pernah menerima cinta tidak bakal mampu memberi cinta. Dan Suarez membuktikannya kepada Sofia.


Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar