Minggu, 26 Agustus 2012

Nahkoda Kecil Dari Glenbuck

”Banyak orang yang mengira sepak bola adalah persoalan hidup dan mati. Saya sungguh kecewa. Sepak bola jauh lebih besar dari sekadar urusan hidup dan mati.”

Ada perasaan aneh saat mendengar statemen tersebut. Logika normal seolah berontak. Bagaimana mungkin persoalan hidup dan mati menjadi seekor "semut" jika dibandingkan dengan sepak bola. Jangan pernah mengkritisi statemen tersebut kepada seorang Bill Shankly. Wajahnya bakal berkerut, lalu dengan meledak-ledak berargumentasi. Bagi Shankly, keyakinan itu sudah terbatinkan. Football is everything. Sebanding dengan agama. Baginya, sepak bola harus disikapi secara total dan maksimal.

Bill Shankly
Langit masih begitu gelap, Mungkin mentari pun masih lelap dalam tidurnya. Ketika samar terdengar segerombolan derak kaki sudah nampak akrab dengan dinginya debu pagi ini, seperti biasa wajah-wajah semangat selalu menghiasi paras mereka setiap hari, setiap pagi buta. Mereka adalah Kuli, sekelompok Pekerja tambang dari  Glenbuck, sebuah kawasan Pertambangan di  East Ayrshire, Skotlandia.

Hari ini hari Sabtu, 1 Mei 1925. Tepat 218 Tahun Perayaan ikut serta Skotlandia dalam persekutuan politik bersama Inggris untuk menciptakan Kerajaan Britania Raya yang bersatu. beberapa dari mereka nampak asik menikmati rokok sambil menenteng alat-alat kerja, sebagian lagi nampak gembira karena hari ini mereka tidak perlu bekerja sampai larut, dan besok adalah hari minggu, nampak jelas di pikiran mereka "Sepakbola" !!

Glenbuck sendiri adalah suatu daerah di Skotlandia yang sangat menggemari sepak bola, selain politik tentunya. "Sepak bola merupakan alasan untuk hidup" begitu kata mereka.

Dari beberapa muka ceria, nampak seorang remaja kira-kira usianya 12 Tahun. Wajahnya terlihat sumringah dengan mata berkaca begitu jelas terbingkai oleh sepercik sinar mentari yang mulai tampak di ufuk, dialah Shankly kecil. "William Shankly" lengkapnya, Ia lahir 2 September 1913 dari 10 Bersaudara yang memang tertanam darah sepakbola di nadinya. Kakaknya Bob Shankly (1910 - 1982) adalah manajer sepak bola yang sukses, Bob membawa Dundee menjadi juara di Liga Skotlandia di 1962.

Shankly tumbuh seperti rekan-rekan sebayanya. Bekerja sebagai tukang tambang 6 hari seminggu. Hanya menyisakan Sabtu malam untuk bersosialisasi dan hari Minggu untuk bermain bola. Sangat membosankan, tapi dia percaya kelak Sepakbola akan jadi hal yang sangat membanggakan bagi dirinya dan keluarganya.

Sepak bola sudah menjadi jalan hidup bagi Shankly untuk meretas kebebasan. Pada 1932, dia bergabung dengan Carlisle United dan beberapa tahun kemudian pindah ke Preston North End Club. Shankly tercatat pernah memperkuat timnas Skotlandia sebanyak 7 kali. Saat menginjak umur 33 tahun, pria berkarakter keras ini memutuskan gantung sepatu.

Karier kepelatihannya diretas dengan membesut Carlisle, kemudian berlanjut ke klub yang lebih besar seperti Grimbsy, Workington, dan Huddersfield. Tapi Fase paling penting dalam hidupnya baru akan di mulai.

London - Suatu saat sekitar bulan November 1959 Bill Shankly yang menjadi pelatih di Huddersfield didatangi dua petinggi dari Liverpool, salah satunya presiden klub, TV Williams.

"Tidakkah Anda berminat menjadi pelatih di klub terbaik Inggris?" tanya salah satu dari kedua petinggi Liverpool itu.

"Mengapa? Apakah Matt Busby mengundurkan diri?’" Shankly balas bertanya.

Kita tahu apa yang ada di benak Shankly, karena Matt Busby sedang berproses menjadi pelatih legendaris Manchester United dan klub itu sedang merajai dunia persepakbolaan Inggris. Sedangkan Liverpool saat itu sudah cukup bergembira duduk di papan tengah divisi dua versi lama Liga Inggris.

Shankly sendiri bukanlah seorang manager terkenal pada waktu itu dan sebagian fans dan media meragukan kemampuannya. Shankly justru memulai dengan merevolusi skuad Liverpool besar-besaran, tidak kurang dari 24 pemain dia lepas dan merekrut pemain-pemain baru pilihannya. dan menggunakan sebuah ruangan di stadion Anfield untuk menggelar rapat kepelatihan. Yang tidak pernah di lakukan pelatih-pelatih sebelumnya.

Ruangan ini di namakan ‘The Boot Room’. Di ruangan inilah Bill Shankly dan anggota ‘Boot Room’ lainnya seperti Bob Paisley, Joe Fagan dan Reuben Bennett mulai membangun kekuatan Liverpool FC .

Dengan stadion yang memprihatinkan, fasilitas latihan yang kurang memadai, dan staf pemain yang buruk. Satu-satunya yang mempunyai kualitas adalah backroom staff Liverpool. semuanya di perbaiki secara menyeluruh.

Lapangan untuk latihan di Melwood juga dalam keadaan yang memprihatinkan, rumputnya tumbuh terlalu tinggi, dan hanya mempunyai satu keran air 
yang bisa digunakan oleh semua pemain untuk berbagai keperluan. 

Shankly, seorang yang dilahirkan dalam kelas pekerja dan seorang sosialis sejati seumur hidup, tidak memandang buruknya Melwood sebagai masalah, malah ia mengubahnya menjadi sumber kekuatan. Ia lalu mengatur agar semua pemain berkumpul di Anfield sebelum latihan dan bersama-sama naik bus menuju Melwood.

Hal ini menciptakan atmosfer persahabatan dalam tim. Di Melwood, Shankly memperkenalkan latihan kebugaran termasuk program diet, dan latihan skill, menggunakan gawang buatan yang dilukis pada sebuah tembok, kemudian dibagi menjadi delapan sisi yang kemudian dia meminta pemainnya untuk menembak tepat pada sasaran.

Untuk latihan bermain, Shankly memperkenalkan permainan lima-sisi yang menegaskan sepak bola berfikirnya – mengumpan dan bergerak, bermain simpel, sebuah keyakinan yang diperoleh dari pertandingan harian yang dilakukan oleh para penambang dari Glenbuck. Setelah latihan, tim akan kembali ke Anfield bersama untuk mandi, berganti pakaian, dan menyantap hidangan komunal. Dengan cara ini Shankly dapat memastikan bahwa para pemainnya telah mendinginkan badan (warm down) secara benar dan menjaga para pemain bebas dari cedera.

Shankly juga menanamkan filosofi penting untuk para pemainnya. "If you are first you are first. If you are second, you are nothing." Maksudnya, tak ada kamus untuk kalah. "The Reds" harus selalu yang nomor satu. Pelatuk yang ia canangkan saat itu, menggusur dominasi rival sekota (Everton) dan menjadikan "The Reds" sebagai klub nomor satu di Liverpool. 

Seperti sudah disebutkan, Shankly berasal dari kelas pekerja dan memahami dengan sangat bagaimana para suporter memandang sepakbola tidak hanya sebagai tontonan, tapi juga masalah hidup dan mati. Mayoritas penduduk Liverpool adalah kaum pekerja dan buruh pabrik.

Shankly merasa bahwa ia telah mengecewakan para suporter jika timnya tidak bermain dengan baik. Jika sedang tidak melatih, maka Shankly akan menghabiskan waktu membalas surat para penggemar yang masuk ke Melwood. Shankly bahkan kadang-kadang mengundang beberapa suporter datang ke rumahnya untuk membahas pertandingan sehari sebelumnya. Memberi tiket gratis kepada suporter bahkan telah menjadi semacam ritual bagi Shankly, tak terhingga.

Satu peristiwa legendaris menjadi contoh sempurna bagaimana Shankly menempatkan para suporter di tempat yang terhormat. Saat ia dan para pemain sedang berlari mengitari Anfield melakukan selebrasi kemenangan juara liga tahun 1973, seorang suporter melemparkan selembar syal ke arah Shankly. Polisi segera bereaksi dan menyingkirkan syal tersebut. Tapi Shankly mengambil syal tersebut, memakainya, dan menghardik polisi dengan kalimat yang membuat seluruh Merseyside merinding, “Jangan lakukan itu. Seseorang bisa jadi menaruh seluruh hidupnya di syal tersebut.”

Hasil dari renovasi yang dilakukan oleh Bill Shankly mulai membuahkan hasil ketika berhasil promosi ke Divisi I pada musim 1961/62 dan menjadi juara liga pada musim 1963/64. Setelah menjuarai Piala FA yang pertama pada tahun 1965 dan menjuarai Liga pada musim 1965/66, Bill Shankly berhasil mempersembahkan gelar juara Liga dan piala UEFA pada musim kompetisi 1972/73. Musim berikutnya Bill Shankly berhasil mempersembahkan gelar piala FA setelah membantai Newcastle United 3-0. saat itu Liverpool di takuti & menjadi raja di Eropa.

Tidak ada yang menyangka bahwa gelar piala FA itu merupakan persembahan terakhir dari seorang Bill Shankly. Karena secara tiba-tiba Bill Shankly memutuskan untuk pensiun. Pemain dan Liverpudlian berusaha untuk membujuk, bahkan para pekerja di Liverpool mengancam akan melakukan mogok kerja. Tetapi Bill Shankly tetap pada pendiriannya dan menyerahkan tongkat manajerial kepada asisten-nya yaitu Bob Paisley. Bill Shankly akhirnya pensiun pada tahun 1974 dan bergabung dengan Liverpudlian di tribun The Kop dan selalu menyaksikan pertandingan Liverpool FC.

Liverpool dirundung muram durja tanggal 29 September 1981 saat Bill Shankly wafat di kota tersebut. Konferensi Partai Buruh Inggris yang digelar dekat hari itu mengadakan sesi hening semenit untuk mengenang Shankly yang berideologi sosialis seumur hidup.

Bahkan Sir Matt Busby, bekas manajer Manchester United yang notabene rival bebuyutan Liverpool, merasa sangat sedih dan menolak untuk mengangkat telepon kepada dirinya yang ingin menanyakan komentarnya soal kematian Shankly.

Malam sesudah Shankly meninggal dunia, Liverpool bermain kandang di ajang Piala Champions dan sebelum kick-off sebuah spanduk raksasa dibentangkan di Kop bertuliskan, “Shankly Lives Forever.”

Empat hari sesudah wafatnya Shankly, saat Liverpool berhadapan dengan Swansea, manajer Swansea, John Toshack bekas pemain yang ditransfer Shankly ke Liverpool mengenakan baju Liverpool saat semenit peringatan memorial sebelum kick-off.

Seperti yang pernah dikatakan Shankly, ”Pada setiap klub sepakbola ada trinitas suci: Pemain, manajer, dan suporter. Direktur klub tidak masuk hitungan. Mereka hanya ada di sana untuk menandatangani cek. Hanya itu.”

LEGEND

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar