(***)
“Dia sudah ada yang punya, lupakan saja.”
Seakan ucapan barusan bisa mematahkan semangat Martin.
Martin mencibir, menanggap lalu ucapan Jordan. Ia tidak peduli. Ia tidak peduli jika pemudi itu sudah dimiliki. Ia tidak peduli jika status pemudi itu sudah tidak available lagi. Ia bahkan tidak peduli jika pacar si pemudi itu akan mencak-mencak jika mengetahui tindakan nekat apa yang hendak ia lakukan.
Yang ia pedulikan hanya satu: bahwa pemudi itu— Gabrielle Taylor —harus jadi miliknya dalam tempo secepat mungkin.
(***)
“Martin, tunggu! Kenapa buru-buru amat sih? Bel masuk bahkan belum berbunyi, jeez!” Jordan sibuk mendumel ketika akhirnya berhasil menjejeri langkah cepat Martin.
Martin hanya memandang sambil lalu sahabat karibnya itu. Ia sibuk memperhatikan jadwal pelajaran di secarik kertas sementara matanya berkelana kesana kemari mencari ruang kelasnya. “Aku menyamakan semua kelas yang kupilih tahun ini dengan milik Gabrielle .” Ujarnya. “Aku harus duduk di sebelahnya di setiap kelas.”
Jordan mendengus, menganggap tolol apa yang sedang dilakukan Martin kini. “Tahu tidak, kau seperti kena pelet atau sejenisnya?!” gerutunya. “Tidak ada angin tidak ada hujan, tahu-tahu saja jatuh cinta setengah mati dengan si Gabrielle ini!”
“Oh, tak usah cemburu begitu lah, Jordan.” Martin berujar tenang.
“Heh, siapa juga yang cemburu!”
Langkah Martin berhenti ketika sampai di kelas Sejarah. Ia membuka pintu dan melongok ke dalam kelas. Kosong melompong, tentu saja. Bel masuk pun baru akan berbunyi setengah jam lagi. Jordan hanya bisa tepok jidat sambil kembali memaki-maki karena datang kepagian. Martin sendiri dengan santai memasuki kelas dan menaruh tasnya di meja paling depan.
Meja yang biasanya ditempati oleh Gabrielle Taylor.
Jordan menyeret kakinya ogah-ogahan ke dalam kelas, mengambil tempat di pojok belakang. Memutuskan untuk memakai headphone dan tidak mengacuhkan Martin sama sekali.
(***)