Martin masih ingat dengan jelas bagaimana pertama kali ia bertemu dengan Gabrielle. Dua tahun yang lalu, saat mereka sama-sama masih berada di tahun pertama SMA.
Semuanya terjadi begitu klise.
Martin sedang menunggu Jordan di dekat lokernya. Ia bersandar sambil bengong entah memikirkan apa (Untuk yang ini, Martin tidak ingat). Ia dan Jordan sudah janjian untuk pulang bareng, tapi bocah Inggris itu masih belum juga menampakkan batang hidungnya. Martin bukan tipe yang suka menunggu. Kalau ini orang lain selain Jordan, sudah dari tadi ia tinggal. Tapi masalahnya ini Jordan, sahabatnya sejak masa kanak-kanak.
Martin hanya bisa memaki dalam hati.
Hingga kemudian momen itu terjadi.
Sebuah momen klise di mana ada seseorang yang tak sengaja menabrak Martin. Tumpukan buku yang dibawa orang itu berjatuhan. Martin belum pernah melihat ada orang yang membawa buku tebal sebanyak itu hanya untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa membayangkan sekutu buku apa sosok penabraknya itu.
Dan ketika matanya bertemu dengan mata orang itu, kejadian klise yang sering dijumpai di drama-drama picisan selanjutnya kembali terjadi.Seakan waktu berhenti, seakan ada kupu-kupu menari di perutnya, seakan ada nyanyian terdengar di telinganya. Ya, sebutkan saja semua adegan-adegan yang biasa ada di opera sabun. Karena itu lah yang dirasakan Martin saat pertama kali memandang orang itu.
Jatuh cinta pada pandangan pertama.
Dengan Wanita. Dengan orang asing. Dengan Gabrielle Taylor.
Saat itu, Martin tidak memiliki kesempatan untuk menanyakan namanya. Tepat ketika ia selesai membantu anak itu (Yang kelak ia ketahui bernama Gabrielle), tahu-tahu saja Jordan muncul dengan santainya. Tanpa ba-bi-bu langsung menyeret Martin pergi. Martin tak kuasa untuk berontak.
Gabrielle sendiri setelah mengucapkan terima kasih padanya segera menjauh. Gabrielle menghela nafas kecewa.
(***)
Keesokan harinya, Martin masih penasaran.
“Kau tahu anak yang menabrakku kemarin itu, tidak?” ia bertanya ke Jordan saat mereka tengah berjalan beriringan menuju kelas.
Jordan mengerutkan kening, tampak berusaha mengingat-ingat. “Hm, tidak tuh, kenapa?”
Martin menggeleng, memutuskan untuk tidak membagi-bagi rasa penasarannya ini dengan Jordan. Jordan terlihat cuek dan sepertinya bahkan sudah tidak ambil pusing dengan bocah penabrak misterius yang kemarin itu, jadi Martin rasa lebih baik ia tidak menceritakan apa-apa. Jordan lagi pula terkadang bisa ember.
“Tidak apa-apa.”
Mereka masuk ke kelas Biologi tanpa menyinggung-nyinggung lagi soal kejadian kemarin.
(***)
Saat istirahat makan siang, Martin semeja dengan Jordan dan beberapa teman-temannya yang lain. Menyantap hidangan makan siang setelah sebelumnya dihinggapi kepenatan akibat membedah katak dan kawan-kawannya di kelas Biologi.
Mata Martin kemudian menangkap sosok si pemudi misterius itu, tengah berjalan dengan nampan di tangan—tampak mencari meja. Martin merasakan jantungnya berdegup begitu cepat hanya karena melihat sosok pemudi itu. Dan itu aneh, karena ia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Tidak pernah merasa setolol ini.
Sial. Makinya. Berdegup secara normal lagi lah, wajah jantung!
Tak sengaja, mata mereka bertemu. Dan Martin bersumpah tidak ada yang lebih indah selain sepasang mata hijau milik pemudi itu. Ia mencoba tersenyum (Jangan tanya seaneh apa senyumnya saat itu), pemuda itu tampak bingung untuk sejenak sebelum kemudian balas tersenyum.
Kursi di sebelah Martin kebetulan masih kosong, maka selanjutnya Martin menunjuk-nunjuk kursi di sebelahnya—memberi gestur pada pemudi itu untuk duduk di situ.
Pemudi itu tampak paham, ia berjalan mendekat ke meja Martin.
Tapi sebelum sampai ke meja Martin, ia kembali menabrak seseorang (Martin sampai sekarang selalu berpikir bahwa Gabrielle itu sebenarnya anak yang ceroboh).
“Eh, maaf.” Serunya panik ketika tak sengaja susunya jatuh dan mengenai kemeja seseorang.
Orang itu—well, Martin mengenalnya di kelas olahraga—Kyle Walker. Si pemuda bertubuh besar yang memiliki aura mengintimidasi. Baru tahun pertama saja sudah banyak senior yang jadi korbannya. Menakutkan.
Saat itu Martin pikir Kyle akan menampar, memaki atau entah apa yang pasti melakukan sesuatu yang menyakitkan pada si pemudi misterius itu. Karena menjatuhkan minuman ke kemeja preman macam Kyle pastinya akan mendapat balaasan yang setimpal, bukan?
Martin siap maju untuk melindungi, saat itu.
Tapi Kyle tidak menampar, memaki, atau sejenisnya. Ia memandang pemudi itu, mengangkat alis, lalu bergumam datar. “Bajuku kotor.” Ucapnya datar.
“Eh, i-iya, maaf....” pemudi itu tampak ketakutan. Mungkin ia juga sudah tahu reputasi buruk Kyle.
Di luar dugaan, Kyle malah meraih pergelangan pemudi itu, menariknya untuk duduk di sebelahnya. Pemudi itu tak bisa melawan karena memang bobot tubuhnya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Kyle. “Tanggung jawab,” Kyle kembali bersuara.
“Tanggung jawab bagaimana....?”
“Bersihkan bajuku,” jawabnya santai. “Tapi temani aku makan dulu sebelumnnya.”
Dan bukan hanya pemudi itu, Martin sendiri sukses melongo dari tempatnya duduk.
Ia kalah start, saudara-saudara!
I loved him first, I loved him first! Benaknya berteriak. Maunya sih maju dan menerjang si spike brengsek itu, tapi ia juga sadar diri. Bisa-bisa ia yang balik dikeroyok.
Apa daya, Martin hanya sanggup menyaksikan pemudi misterius pujaannya sudah dengan tenang duduk di sebelah Kyle. Tak bertanya apa-apa dan pasrah saja dengan cara Kyle menghukumnya.
Martin memandangnya dengan pandangan sedih. Selanjutnya ia menyantap makanannya dengan tidak berselera. Sudah merasa kalah bahkan sebelum bertempur.
Aku bahkan belum tahu namanya! Martin merutuk.
(Ia tidak memperhatikan ketika pemudi itu diam-diam juga mencuri pandang padanya.)
(***)
Dan sejak saat insiden tabrakan di kantin, Kyle jadi amat sering menempeli pemudi itu.
Martin memutuskan untuk menyerah, berpikir bahwa ia sudah tidak ada kesempatan. Bersaing dengan Kyle, menginginkan apa yang diinginkan Kyle—ia belum punya nyali untuk melakukannya. Tidak terima kasih, Martin masih menginginkan masa SMA yang nyaman tanpa teror dari si preman.
Ia baru mengetahui bahwa nama pemudi misterius yang pernah menabraknya itu adalah Gabrielle Taylor dari salah satu temannya— Rebecca Burnet —yang kebetulan satu kelas di pelajaran Fisika dengan Gabrielle.
Martin tak sengaja melihat Rebecca dan si wanita misterius itu keluar dari satu pintu kelas yang sama. Maka ia langsung menghadang Rebecca dengan maksud untuk menginterogasinya.
“Hey, Reb.” Tegurnya.
“Eh, Martin, hai!” sapanya balik.
Martin mencoba berbasa-basi sebentar kemudian. Ia menanyakan bagaimana kelas Fisika, dan Rebecca mencoba dengan semangat bahwa kelasnya menyenangkan dan ada satu anak paling pintar di kelas itu. “Tuh, itu anaknya. Pintar sekali dia, seakan semua rumus Fisika sudah tersimpan di otaknya.”
Dan anak yang ditunjuk oleh Rebecca secara mengejutkan ternyata adalah si pemudi misterius. Jantung Martin kembali berdegup tidak karuan.
“Namanya siapa?” tanyanya dengan nada gugup.
“Namanya—“ Dag dig dug dag dig—heh, berdetak normal lah, jantung! “—Gabrielle Taylor.”
Martin mendadak ingin pingsan.
(***)
Tahu namanya saja tidak cukup. Karena semangat Martin kembali patah ketika beberapa saat kemudian ia mengetahui bahwa Kyle dan Gabrielle sudah resmi sebagai pasangan. Ia patah hati, sangat. Jordan bahkan bertanya-tanya kenapa Martin bersikap begitu menjengkelkan sejak mendengar kabar itu.
Tapi Martin tidak bisa mengatakannya, ia tidak bisa mengatakan bahwa ia patah hati karena Gabrielle sudah keburu dimiliki oleh Kyle.
I loved him first, I loved him first!
Dan yang lebih menyedihkan, sakit hatinya itu hanya bisa ia tanggung sendiri. Martin terlalu malu untuk membaginya dengan Jordan atau teman-temannya yang lain. Entah apa yang akan mereka katakan jika mengetahui perasaan Martin. Mentertawakannya, mungkin? Atau mungkin bersimpati? Ah, entahlah.
Sejak saat itu Martin memutuskan untuk mengubur dalam-dalam apa yang pernah ia rasakan pada Gabrielle.
Cinta pada pandangan pertama itu absurd, lagi pula. Pasti mudah juga untuk dimatikan.
Ia harap.
(***)
Dua tahun kemudian, mereka kembali bertemu di waktu dan keadaan yang sama ketika pertama kali bertemu.
Martin tengah menunggu Jordan, dan kembali ia terkejut ketika merasakan ada yang menabraknya.
“Whoa—“ Ia nyaris oleng.
“Eh, ma-maaf!” Buku-buku pemudi itu sendiri juga sudah jatuh berantakan.
Deja vu.
Martin memandang sosok si penabrak, Gabrielle Taylor. Dan Gabrielle balik memandangnya dengan pandangan yang juga sama terkejutnya. Ia buru-buru memalingkan muka, lalu berjongkok untuk membereskan buku-bukunya.
Martin ikut berjongkok, ia mengambilkan beberapa buku yang berada di jangkauan tangannya. “Kau ini kebiasaan sekali suka menabrak orang.” Ia tidak tahu kenapa mulutnya mengatakan hal itu.
Gabrielle bisa merasakan wajahnya memanas. “Well, maaf kalau kau merasa terganggu.”
Martin tersenyum kecil. Ia menyerahkan buku-buku yang sudah ia bereskan pada Gabrielle. “Jangan jadikan kebiasaan.”
Gabrielle mendengus. “Aku baru menabrakmu dua kali.”
Dan hanya karena satu kalimat balasan dari Gabrielle itu, perasaan yang coba Martin kubur dua tahun lalu perlahan kembali muncul ke permukaan. Gabrielle ingat! Gabrielle masih ingat pertemuan pertama mereka! Itu sudah dua tahu berlalu, jadi pasti ada alasan bagus kenapa Gabrielle masih mengingatnya.
“Kau ingat?” Martin bertanya pelan.
Gabrielle belum sempat mengatakan apa-apa, ketika kemudian terdengar suara menginterupsi mereka berdua. Kyle Walker.
“Azza!” serunya. Ia berjalan mendekat ke arah Gabrielle dan Martin masih berjongkok. “Nabrak orang lagi, eh, babe?” Kyle mengulurkan tangannya, membantu Gabrielle berdiri.
Gabrielle menunduk malu, tapi meraih juga uluran tangan itu.
“Sudah kubilang kan kalau bawa banyak buku lebih baik suruh Rose atau Jenas saja untuk membawakannya.” Kyle berujar dengan nada bosan. Tapi biar begitu ia tetap ikut membantu Gabrielle membawa buku-bukunya.
Gabrielle memutar matanya. “Dan sudah kubilang kalau jangan suka memanfaatkan adik kelas!”
“Kita lebih senior!”
Gabrielle tahu berdebat dengan Kyle tidak ada gunanya. Dan lagi pula mendadak ia teringat dengan Martin yang juga masih ada di situ. Ia memandang Martin dengan pandangan menyesal. “Maaf, sekali lagi.”
Dan entah kenapa permintaan maaf barusan seakan bukan karena ia menabrak Martin.
Gabrielle dan Kyle selanjutnya berjalan pergi.
Tapi perasaan itu masih menjalar dengan derasnya di diri Martin. Ia akhirnya bertekad bahwa merebut pacar orang rasanya tidak ada salahnya.
(***)
Dan pada semester baru, Martin sudah melancarkan aksi PDKT-nya ke Gabrielle. Tanpa sepengetahuan Kyle, tentu saja. Ia belum berani perang secara terbuka, tahu.
(***)
Kembali ke masa kini, di kelas Matematika.
“Hey, Taylor, pinjam pensil dong!”
Martin memasang cengiran tak berdosa pada sosok yang duduk di sebelahnya itu.
Gabrielle memasang ekspresi sebalnya yang biasa ia tunjukkan hanya pada Martin, tapi ia tetap meminjamkan pensilnya juga. “Apa sih yang kaubawa ke sekolah?!” gerutu Gabrielle.
“Hatiku.” Jawab Martin bercanda.
Gabrielle mengangkat alis, clueless. “Itu apa maksudnya?”
Martin menggelengkan kepala sambil masih menahan tawa. Gabrielle ini tidak pernah digombali sama Kyle atau bagaimana sih? Martin jadi geli sendiri. “Bukan apa-apa, Taylor.”
Perjuangan Martin masih panjang, tampaknya.
TBC
Previous Chapter [Chapter 3] Next Chapter [Chapter 5]
--------------------------------------------------------------------------------------
Notes : Chapter 5 dalam tahap pembuatan, Wait !!
0 komentar:
Posting Komentar