Bahkan ucapan penuh semangat dari Kyle barusan sama sekali tidak membuat Gabrielle merasa lebih baik. Ia tetap menekuk wajah sambil berjalan ogah-ogahan. Seakan ada beban yang berat sekali yang menahan langkahnya untuk memasuki ruang lab Fisika. Kyle sampai perlu menyeret-nyeret pacarnya itu agar mau berjalan.
“Kau tidak mengerti, Ky!” keluh Azza dengan suara kecil, masih diam statis di tempatnya berdiri—tinggal beberapa meter lagi dari lab fisika.
Kyle mendesah, “Ya, tentu saja aku tidak mengerti. Aku tidak pintar sepertimu—aku bahkan tidak mengambil kelas Fisika!” ia meletakkan tangannya di bahu Gabrielle mencengkramnya erat. “Tidak ada yang tidak bisa kauhadapi, Azza. Jadi asisten lab Fisika seburuk apa sih? Kau amazing, flawless, perfect human being! Kau bisa melakukan apapun yang kau mau! Menaklukan hatiku saja bisa kau lakukan....”
Tapi justru gombalan seperti itu yang membuat Gabrielle jatuh cinta.
Senyum tipis terkembang di wajahnya, senyum tulus pertamanya untuk hari ini. “Terima kasih, Ky. Kau manis sekali. Tapi—“
KRING KRING KRING
Dan bel masuk pun berbunyi.
Kyle mendorongnya paksa untuk masuk ke ruang Lab adalah hal terakhir yang Gabrielle ingat sebelum semuanya terasa gelap.
Aura lab Fisika memang selalu begitu untuknya. Hngh.
(***)
Martin bukan siswa pintar. Ia membenci Fisika melebihi rasa bencinya pada Kyle Walker. Hanya Tuhan yang tahu kenapa sekarang ia mengambil kelas Fisika. Oh ralat, jawabannya sudah jelas. Karena Gabrielle Taylor, tentu saja.
Ia memasuki ruang Lab dengan senyum cerah. Mengambil bangku di depan, lalu membolak-balik buku tebalnya untuk membangun imej anak pintar. Jordan pasti akan mentertawakannya jika melihat ini—tapi Jordan tidak ada di sini, untungnya. Mata Martin menangkap Gabrielle tengah berada di dekat Mr. Kenny—guru Fisika. Ia mengangkat alis penasaran.
Mr. Kenny tampak bercakap-cakap sebentar dengan Gabrielle, menepuk-nepuk pundak pemudi itu, lalu langsung pergi begitu saja. Ekspresi Gabrielle sendiri begitu datar, seakan jengah. Ia dari tadi hanya mengangguk-angguk saja dengan apapun yang dikatakan oleh guru itu.
Selanjutnya, Gabrielle berbalik menghadap seisi kelas. Martin berani bersumpah ia bisa melihat Gabrielle sedikit terkejut ketika melihat dirinya. Tapi hanya sedetik, setelah itu ia kembali menguasai diri.
“Selamat siang, aku Gabrielle Taylor akan menjadi asisten Lab yang bertanggungjawab di kelas ini.” Ia memulai perkenalan dirinya. Walau tanpa perkenalan pun semua anak di ruangan ini pasti mengenalnya. Anak teladan kesayangan guru-guru plus berbekal wajah Cantik—bukan sesuatu yang mudah dilupakan.
Gabrielle meraih modul di meja guru, membolak-baliknya dengan cepat. “Buka Bab 1, praktekkan apapun yang tertara di modul. Tanya padaku jika ada yang tidak dipahami. Ada pertanyaan?” Gabrielle memandang mereka satu persatu (Khusus untuk Martin pandangan yang ia berikan hanya kurang dari sedetik sebelum kemudian langsung mengalihkan matanya ke arah lain). Melihat tidak ada yang bereaksi, Gabrielle anggap itu sebagai bukti mereka paham.
“Oke, langsung kerjakan!”
Nah, ini sebenarnya tidak begitu buruk jika ia mulai bertingkah ngeboss. Kyle selalu mengatakan padanya bahwa dirinya kadang terlalu lembek.
“ Gabrielle,” Martin berseru sambil mengangkat tangan. Ia tidak ada niat untuk mengerjakan praktek seperti yang sudah diinstruksikan. Pertama, ia tidak mengerti sama sekali apapun yang tertera di modul tebal itu. Kedua, tujuannya masuk kelas Fisika kan hanya demi menguntit—ehem, mendekati, maksudnya— Gabrielle . Martin sedikit kaget ketika mengetahui pemudi Gabrielle itu ternyata menjabat sebagai asisten Lab.
Gabrielle mengatur nafasnya perlahan, sebelum kemudian berjalan mendekati meja Martin dengan wajah datar. “Ya, Kelly?”
“Aku tidak mengerti—“
“Apa yang tidak kau mengerti?”
“Well, semuanya—“
Gabrielle langsung melotot, “Seriously?”
“Mmm, yeah.”
Mood Gabrielle mendadak langsung jelek. Sebal dengan entitas di hadapannya ini. Ia sudah heran mengapa selama seharian ini selalu sekelas dengan Martin yang notabene murid yang hobi bolak-balik ke ruang BP. Apa perlu di hari pertamanya menjabat sebagai asisten Lab harus dirusak dengan kehadiran Martin?!
“Lalu kenapa kau ambil kelas ini?!” lengkingnya.
Ada jeda di mana Martin nyaris mengatakan ‘Karena kau’, tapi ia berhasil menahannya. Sebagai ganti Martin hanya memberi pandangan penuh arti pada Gabrielle.
Gabrielle tidak tahu kenapa mendadak pipinya terasa panas. Demi Tuhan, di hadapan orang macam Martin Kelly kenapa ia bisa segrogi ini?! “Tidak usah dijawab.” Gumamnya. Entah bagaimana, Gabrielle rasanya tahu apa jawaban Martin.
Dan ia tidak mau mendengar langsung dari mulut Martin.
“Jadi, mau membantuku?” Martin memasang cengiran bandel.
Gabrielle memandangnya sebal. Memasang kata ‘tidak’ dengan jelas di wajahnya.
“Ayolah, Gabrielle, kau kan asisten Lab! Sudah sewajarnya membantu murid yang butuh bantuan.” Rengek Martin. “Pleaaaase, aku benar-benar butuh pertolonganmu.”
Menghela nafas panjang, dan akhirnya Gabrielle luluh juga. “Baiklah, mulai dari awal, ya?” Ia mengambil tempat di sebelah Martin, menjelaskan satu persatu mulai dari halaman pertama modul.
Martin tidak memperhatikan sama sekali. Ia sibuk mendengar suara Gabrielle di telinganya. Suara yang menyejukkkan hati.
(***)
Suara tawa Martin membahana, terdengar berbarengan dengan dibunyikannya bel pulang sekolah. Sementara di sebelahnya, Gabrielle hanya bisa geleng-geleng kepala saja sambil tersenyum tipis. Ia sudah melewatkan waktu satu setengah jam hanya untuk mengajari Martin bagaiamana cara membuat rangkaian listrik. Dan itu sulit sekali! Martin Kelly dan Fisika rasanya tidak ditakdirkan untuk berjodoh.
Tapi setidaknya ia mau mencoba. Dan semua itu berakhir dengan tawa.
“Aku baru tahu kalau Fisika bisa menyenangkan seperti ini.” Ujar Martin masih dengan sisa tawa yang ada. Ia akhirnya berhasil membuat rangkaian listrik seri dengan sukses, bahagia sekali rasanya!
Gabrielle kembali tersenyum kecil. “Baguslah kalau kau berpikir begitu.” Ujarnya sambil mengangguk kepada murid-murid yang satu persatu mulai keluar dari Lab.
“Karena kau, Gabrielle! Terima kasih!” Martin meraih tubuh Gabrielle Taylor ke pelukannya sebelum pemudi itu sempat bereaksi apapun. Hanya pelukan singkat, tapi efeknya bombastis.
Gabrielle langsung menarik diri, salah tingkah. Martin sendiri hanya cengengesan saja.
“Sampai jumpa besok, Asisten Lab.” Martin langsung berjalan keluar dengan santai.
Sampai jumpa besok?
Ya, mereka akan berjumpa lagi besok. Martin toh akan selalu ada di kelas yang sama dengannya.
Tanpa seorangpun yang memperhatikan, Gabrielle tersenyum.
(**)
“Kau tampak ceria sekali, Babe. Bagaimana hari pertama menjadi asisten Lab?” tanya Kyle saat mereka bertemu di area parkir.
Gabrielle tersenyum kecil sambil membuka pintu penumpang di mobil Walker. “Seperti yang kau bilang, Ky, tidak ada yang tidak bisa aku lakukan. Semuanya lancar dan terkendali kok.”
Kyle mengangkat alis, “Oh bagus kalau begitu.”
Walau menyadari ada sesuatu di balik ucapan Gabrielle barusan, Kyle memutuskan untuk tidak ambil pusing.
Mobil ia starter, dan perlahan mulai meningglakna area sekolah.
(***)
TBC
0 komentar:
Posting Komentar