Jumat, 20 April 2012

All the Things He Said (Our Love Song) Part 3

Semua tindakan yang ia lakukan, sejujurnya hanyalah akal-akalan untuk memancing reaksi pemuda Belanda itu.

Ia menunggu.
Berulang kali matanya melirik layar BlackBerry yang tengah tergeletak di meja. Berulang kali tiap ada notifikasi yang masuk, jantungnya berdegup lebih kencang—berharap itu dari orang yang ia tunggu-tunggu. Berulang kali ia harus merasa kecewa ketika notifikasi yang ada bukan dari orang yang ia harapkan. Berulang kali ia merasa frustrasi. Berulang kali—
Tapi ia tetap menunggu. Cesc tetap setia menunggu.
“Sial!” desisnya, “Apa memang aku tidak berarti apa-apa untukmu, ya?”
Iris cokelatnya kini memandang ke luar jendela, tampak seorang wanita muda berbikini yang tengah berjemur di bawah sinar matahari yang terik. Cesc mendesah, bahkan kehadiran wanita itu sama sekali tidak bisa menggantikan sosok yang ia rindukan sepanjang musim panas ini.
Cesc merindukan dia. Cesc merindukan Robin-nya. Tapi sayangnya yang bersangkutan malah sibuk sendiri di Ibiza. Terlalu sibuk sampai-sampai tak ada waktu untuk menghubungi dirinya.
“Cesc...” sebuah suara terdengar memasuki ruangan.
Ia menoleh, dan mendapati Daniella—‘pacar’ barunya—sudah berdiri di ambang pintu. Wanita itu tersenyum menggoda ke arahnya. Kadang Cesc merasa tidak enak sendiri menjadikan Daniella hanya sebagai tamengnya. Parahnya lagi, Daniella bahkan sama sekali tidak mengetahui bahwa ia dimanfaatkan.
Nanti akan kuberikan ia hadiah setelah semua ini berakhir. Cesc berjanji dalam hati. Entahlah, berlian atau sejenisnya, mungkin.
Cesc berusaha sekeras mungkin untuk memberikan senyuman yang tulus—senyuman terbaiknya. “Ya?”
Daniella mendekat, meraih jemari Cesc. “Mau berenang tidak? Bosan kan hanya di kamar terus sepanjang hari?”
Ada jeda cukup panjang sebelum Cesc menjawab. Matanya kembali melirik layar BlackBerry yang gelap. Tak ada tanda-tanda Robin akan menghubunginya dalam waktu dekat. Ia memutar matanya—kembali merasa dikecewakan.
“Kau benar, ini tidak menyehatkan.” Ia merasa tidak perlu menjelaskan apa yang dimaksud dengan‘ini’. Kembali mencoba memberikan senyum palsu. “Ayo.”
Jika memang yang diperlukan untuk menarik perhatianmu adalah dengan menciptakan sensasi, maka itu yang akan kulakukan, Rob.
Cesc adalah orang yang tekun dan bersungguh-sungguh dengan tujuan yang ingin ia capai. Maka ketika tujuan itu adalah menarik perhatian seorang Robin van Persie, cara terekstrem apapun akan ia lakukan. Bermesraan dengan gadis randomsekalipun, misalnya. Entah sudah berapa banyak foto yang diambil oleh paparazzi yang ada—Cesc tidak tahu, tapi ia rasa beritanya pasti akan menyebar  dengan cepat ke seluruh belahan dunia.
‘Cesc Fabregas dan Kekasih Barunya’.
Judul yang cukup oke untuk menarik perhatian Robin, ia rasa.
Pemuda 24 tahun ini baru saja hendak menjatuhkan tubuh ke ranjang, sebelum kemudian terdengar ponselnya bergetar. Cesc menguap lebar, ini hari yang melelahkan baginya tanpa harus diganggu dengan panggilan di tengah malam. Ia sempat berniat untuk mengacuhkan saja, tapi ada sebagian dari dirinya yang menentang—menyuruhnya untuk mengangkat.
Maka sambil malas-malasan ia meraih ponselnya. Matanya langsung melebar melihat nama yang muncul di layar BlackBerry-nya. Robin.
GLEK
Kok jadi mendadak gugup begini?!
Cesc berdehem beberapa kali, lalu akhirnya menjawab pangilan itu. “Robin.”
“Cesc?”
Berlebihan tidak jika ia mengatakan ia merindukan suara itu di telinganya? Karena serius, ia benar-benar rindu!!! Cesc berusaha menguasai diri—percayalah, ia berusaha sangat keras—sebelum kemudian menjawab. “Ada apa, Robin? Tumben menelponku.” Ada sindiran di nada suaranya barusan.
Well—“ Robin terdengar ragu, “Entahlah, kau mau membicarakannya?”
“Membicarakan apa?”
“Kau bisa membicarakan apa saja denganku.”
“Kurasa tidak ada yang perlu dibicarakan.” Dustanya. Sejujurnya, ada banyak sekali kata yang ingin ia ucapkan pada Robin. Ada berbagai hal yang ingin ia bicarakan berdua. Tapi semua itu tertahan di mulut, ia tak pernah benar-benar mengatakannya.
Ada keheningan sebelum Robin menjawab. “Membicarakan pacar barumu, misalnya?”
Oh.
Beritanya sudah tersebar. Padahal ia kira paling cepat adalah besok pagi, ternyata dalam waktu beberapa jam foto-fotonya bersama Daniella sudah beredar. Whoa, hebat sekali paparazzi ini.
 “Jadi, siapa nama wanita itu?”
Pemuda Spanyol ini memamerkan cengiran ketika mendengar pertanyaan dari Robin barusan. Astaga, efek dari foto-foto itu memang dahsyat, ya? “Daniella.”
“Oh.” Robin menanggapi. “Kau bahagia dengannya, kan? Aku turut senang kau sudah bisa move on dari Carla, kautahu.”
Dengan Carla, aku sudah berhasil move on. Denganmu yang aku tidak bisa. “Entahlah, Robin. Kurasa ini hanya sekedar summer fling, aku tak ada rencana untuk menjadikannya pacar tetapku untuk saat ini.”
“Oke, summer fling kurasa tidak begitu buruk. Nikmati saja waktu kalian berdua, jatuh cinta lah perlahan-lahan.”
Cesc mendengus. Mana bisa ia jatuh cinta, ketika hatinya sudah terlanjur ia berikan pada orang lain. Pada pemuda lain yang sudah berkeluarga. Hidup kadang sialan sekali, memang. “Jangan bicarakan cinta denganku, Rob. Aku sudah tidak percaya lagi dengan konsep ‘cinta’.”
Tapi tidak padamu. Yang kurasakan padamu lebih dari sekedar cinta. Dan konteksnya berbeda, lagipula. Aku hanya merasa tidak yakin bisa jatuh cinta lagi dengan seorang perempuan.
Robin berdecak. “Hey, jangan pesimis begitu, Cesc! Kegagalan dalam percintaan sesekali itu wajar. Jangan langsung menyerah seperti itu.”
“Aku tidak menyerah.” Tidak padamu. “aku hanya lelah harus terus-terusan menunggu.” Oke, rasanya sangat pas sekali jika ia diberi cap ‘pemuda galau’ oleh Robin.
“Oh, Cesc....” Nada bicara Robin kini terdengar penuh simpati. Dan Cesc benci mendengarnya. “Kau baik-baik saja, kan?”
“Aku baik-baik saja.”
“Yeah?”
“Aku hanya—” Aku rindu padamu, sialan! “Aku rindu London.” Itu kode, yang berarti ia merindukan masa-masa bersama Robin di London. Entah apa pemuda Belanda itu bisa menangkap kodenya atau tidak.
Robin terdiam sejenak. “Aku juga.... yeah, aku juga merindukan London.”
Cesc langsung merasa ada kupu-kupu yang menari di perutnya.
“Jadi, karena kau merindukan London, apa itu bisa kuasumsikan bahwa kau ingin bertahan musim depan?”
Jangan mulai lagi, please. Gerutunya dalam hati.
Cesc sudah cukup stres dengan pertanyaan yang sama yang ditanyakan semua orang padanya hampir setiap hari. Dan kini ditambah tekanan dari Robin hanya memperburuk semuanya. Karena ia tahu, nyaris mustahil bagi Cesc untuk mengatakan ‘tidak’ pada pemuda ini.
Robin dan Arsenal adalah dua hal yang berbeda. Ia ingin selamanya berada di sisi Robin, tapi itu tidak menyurutkan impiannya untuk bermain di Barcelona. Ia sempat punya pikiran untuk meninggalkan Arsenal, tapi belum-belum ia sudah keburu sakit kepala jika memikirkan akan berjauhan dengan Robin.
Keputusan mengenai Barcelona harus ia lakukan di saat pikirannya sedang sehat dan rasional—tidak diganggu dengan unsur perasaan seperti sekarang ini. Cinta itu racun, belenggu, apapun yang hanya membuat sulit!
Dan ia bahkan tidak bisa menyalahkan siapapun atas hal ini. Memangnya mau menyalahkan siapa jika ia dilempar pada kenyataan bahwa ia jatuh cinta pada Robin?
“Rob, ini bukan topik yang ingin—“
“Oke, aku paham.” Robin memotong. Nada kecewa tak dapat ia sembunyikan dari suaranya. “Aku hanya—butuh kepastian darimu....,”
“Aku tak bisa memberimu kepastian apapun.” Gumam Cesc dengan nada penuh derita. Ia benci melakukan ini—mengecewakan Robin adalah hal terakhir yang akan ia lakukan.
“Cesc, please....”
“Kita bicara lagi nanti, oke?”
Dan begitu saja Cesc memutuskan sambungan. Ia tidak tahu kapan lagi Robin akan menghubunginya, atau kapan ia punya keberanian untuk menghubungi pemuda itu terlebih dahulu. Ia bahkan tidak tahu ‘nanti’ yang ia ucapkan itu berarti berapa lama lagi?!
Cesc membanting ponselnya, merasa marah tanpa alasan yang jelas. Ia tidak suka mengecewakan Robin, atau membuat pemuda itu sedih. Tapi ini harus ia lakukan. Karena sekali lagi, sangat mustahil bagi Cesc untuk menolak apapun permintaan Robin.
Dan bukan tidak mungkin dirinya secara tidak sadar akan mengatakan bahwa ia akan bertahan musim depan di Arsenal. Demi Robin. Apapun untuk Robin.
Lihat betapa cinta bisa membuatnya jadi tidak terkontrol seperti ini!
.
.
PUK... PUK...
Cesc masih berada di alam mimpi ketika ia menyadari tepukan berulang kali mendarat di pipinya. Ia melenguh, masih belum sepenuhnya sadar. Perlahan, tepukan itu berhenti—digantikan sentuhan hangat sebuah tangan yang menempel di pipinya. Cesc akhirnya membuka matanya, mengerjap bingung—mencoba mendapatkan penglihatan fokus.
Morning.”
Ia mengenali suara itu. Ia mengenalinya dimanapun. “Robin!” desis Cesc. Matanya membulat, seketika pandangan yang awalnya kabur mendadak jelas. Tergambar sangat jelas. Bisa ia lihat cengiran di wajah Robin kini. Pemuda Belanda itu tengah duduk dengan santainya di pinggir ranjang Cesc, bersikap seakan yang ia lakukan ini bukan masalah besar.
Tentu saja bukan masalah besar untuknya...
“Kau tidur seperti beruang yang sedang hibernasi.” Robin berujar dengan nada mengejek.
Santai sekali ia bicara seperti itu! Robin tidak tahu saja perut Cesc yang mendadak sakit karena kehadiran Robin yang begitu mendadak ini. Dengan jarak sedekat ini. Di kamarnya. Pagi hari. Hanya mereka berdua. Oh astaga—
“Oh diamlah!” gerutu Cesc, “Kenapa kau bisa ada di sini? Bukankah seharusnya ada di—well, entahlah, di manapun selain di sini.”
Robin mengangkat bahu sambil memainkan sprei. “Aku juga tidak mengerti. Tahu-tahu saja aku sudah memesan tiket ke Perancis untuk bertemu denganmu.”
“Bagaimana kau sampai bisa masuk ke kamarku?” Cesc benar-benar tidak habis pikir.
“Carlota.” Jawab Robin lancar dengan wajah lugu, menyebut nama adik perempuan Cesc. “Aku ingat pernah menyimpan nomernya, dan lalu meminta bantuannya untuk secepat mungkin bertemu denganmu. Dan dia malah memberiku akses untuk memasuki kamar hotelmu.” Robin menyelesaikan ucapannya sambil memasang cengiran.
Cesc sendiri bingung harus marah atau malah berterimakasih pada adiknya itu. Ia hanya menggelengkan kepalanya dengan lelah lalu membenamkannya wajahnya di selimut. Bukannya ia tidak senang dengan kemunculan Robin, hanya saja ini terlalu mengagetkan.
Robin menyadari tingkah Cesc yang aneh, ia mendekatkan wajahnya ke pemuda Spanyol itu. “Kau kenapa, Cesc? Tidak senang aku ada di sini?” tanyanya. “Kau mau aku pergi?”
Mendengar pertanyaan terakhir itu membuat Cesc secara reflek meraih jemari Robin. “Jangan!” Menyadari reaksinya barusan, buru-buru Cesc menjauhkan tangannya. “Maksudku, aku hanya capek. Kau sama sekali tidak menganggu kok.”
Robin mengangguk, tak bertanya lebih jauh. Ia lalu memandang ranjang double size itu yang hanya ditiduri Cesc seorang diri. “Mana pacarmu? Kalian tidak sekamar?”
Mana mungkin aku bisa tidur sekamar dengan gadis lain, sementara tiap malam hanya namamu yang selalu kusebut di tidurku?
Cesc menggeleng sambil tersenyum kecut. “Semuanya cukup rumit di antara kami, kautahu.” Ia bahkan merasa itu bukan jawaban yang bagus.
Robin mengangkat alis, merasa tidak puas dengan jawaban itu. Tapi ia tidak bertanya lagi. “Jadi, well—“
Mendengar nada ragu dan tidak yakin Robin, Cesc merasa tahu apa yang hendak ia sampaikan. “Kau tidak serius jauh-jauh datang menemuiku hanya untuk bertanya mengenai itu, kan?” desis Cesc tak percaya.
Suara tawa renyah keluar dari mulut Robin. “Aku hanya butuh kepastian.”
“Dan sudah kubilang aku tidak bisa memberi kepastian apapun.”
“Oh ayolah, Cesc!” Robin kali ini berujar keras, lebih serius dari sebelumnya. “Aku ingin kau tinggal, tapi kau sendiri bahkan tidak tahu dengan keputusanmu!”
“Robin—“ gumam Cesc lelah, “—kau ini utusannya Arsene yang bertugas untuk terus mengikatku bersama Arsenal, ya?” Ini tidak ia ucapkan dengan nada bercanda, lho.
Robin menarik sedikit ujung bibirnya, membentuk senyuman tipis. “Mungkin.”
Cesc mendengus. Ia tahu Robin hanya bercanda, tapi bisa dibilang memang itulah faktanya. Selama Robin masih ada di Arsenal, semakin sulit bagi Cesc untuk mengambil keputusan. Bagaimana bisa ia mengambil keputusan jika sesuatu yang ia inginkan dan ia butuhkan adalah dua hal yang berbeda?
Ia ingin Barcelona. Ia butuh Robin. Arsenal juga penting. Darah katalan juga sudah terlalu kental mengalir di pembuluh darah. Tapi cinta sejatinya ada di London. Oh ya Tuhan—
“Aku tidak mau membicarakan ini,” ujar Cesc dengan nada frustrasi, mengalihkan pandangannya dari Robin.
Tapi Robin tidak menyerah begitu saja. Ia meraih pipi Cesc, memaksa pemuda itu untuk menatap wajahnya. “Lihat aku, Cesc.” Desisnya. Matanya memandang iris cokelat itu dengan sedih. “Aku ingin kau tinggal. Arsenal ingin kau tinggal.”
“Arsenal—“ Cesc tersengal ketika hendak mengucapkannya. “Arsenal sudah tidak membutuhkanku lagi....”
“Tapi aku membutuhkanmu.” Sergah Robin. “Aku akan selalu membutuhkanmu...” yang terakhir terasa seperti bisikan.
Cesc merasakan perasaan aneh menjalar di tubuhnya begitu mendengar ucapan Robin. “Jadi ini sudah bukan tentang Arsenal lagi, kalau begitu.”
Robin memandangnya, lalu tersenyum hampa. “Ya, ini sudah bukan tentang Arsenal lagi.” Ujarnya mengiyakan, ada nada sedih dalam suaranya. “Aku memintamu tinggal bukan untuk Arsenal—tapi untukku....”
Dan inilah yang paling tidak bisa Cesc hadapi. Ia mungkin bisa meninggalkan Arsenal, tapi ia tidak akan pernah sanggup untuk meninggalkan Robin. Sayangnya, Robin tahu hal itu—dan memanfaatkannya dengan sangat baik untuk tetap menahan Cesc.
“Robin, kau curang...,” lirih Cesc sambil menunduk, tak sanggup beradu pandang dengan pemuda Belanda itu. “Kau menggunakan perasaanku padamu untuk tetap menahanku. Itu tidak adil, kau tahu sendiri aku tak akan mungkin mengatakan tidak padamu—“
“Kalau begitu katakan kau akan tinggal.” Robin meraih jemari Cesc yang bebas untuk menggenggamnya. “Katakan kau akan tetap tinggal untukku.”
“Robin....”
“Cesc....” potongnya. Robin menghela nafas panjang, sebelum kemudian membisikkan kata-kata yang sedari dulu selalu ingin Cesc dengar. Kalimat yang selama ini ia pikir tak akan mungkin keluar dari mulut Robin. Kalimat yang sekarang malah terasa seperti rantai yang membelenggu. Kalimat— “Aku mencintaimu.”
Ia bisa apa kalau sudah begini?
Cesc merasa lemas mendadak, tak punya daya untuk tetap bertahan. Ia menyenderkan tubuhnya di kepala ranjang, matanya kini memandang Robin. “Aku juga mencintaimu.” Ia mengucapkannya tanpa berpikir.
Robin tersenyum, seakan sudah bisa menebak lebih dulu apa balasan dari Cesc. Ia mengusap rambut pemuda yang lebih muda 4 tahun darinya itu dengan penuh sayang. “Aku tahu.”
Tentu saja ia tahu, jadi selama ini ia tahu...ck!
“Tolong jangan buat ini lebih sulit untukku.” Bisik Cesc lemah, seakan tenaganya sudah terkuras habis.
“Permudah saja, kalau begitu.” Tukas Robin. “Kau akan tetap tinggal.”
Cesc diam saja, tak bereaksi apa-apa. Tangan Robin yang masih menempel di pipinya terasa hangat, dan ia sudah cukup dengan merasakan kehangatan itu tanpa perlu mengatakan apaun. Menikmati momen ini.
Robin diam mengawasi reaksi Cesc yang tenang. “Kau akan tetap di Arsenal untuk musim depan.” Kali ini nadanya menegaskan. “Dan musim depannya lagi, dan musim depannya lagi...”
Cesc masih diam, hanya saja kali ini senyum tipis terkembang.
“Aku akan menjadi rantai yang terus mengikatmu di Arsenal.” Ujar Robin dengan nada bercanda. “Kau keberatan?”
Cesc tertawa pelan. “Memangnya aku bisa menolak?”
Robin terlihat berpikir sebentar. “Sayangnya tidak.” Gumamnya. Ia memandang Cesc dengan pandangan menggoda, lalu menepuk pipi pemuda itu. “Jadi, well, nikmati saja dirantai olehku.”
“Baiklah.” Cesc mengiyakan akhirnya. Buat apa melawan lagipula? Ia tahu sendiri  Robin pasti akan melakukan seluruh cara hanya untuk memaksa Cesc tetap tinggal. 

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar